Perempuan yang Terbenam Kesedihan Kedua Kalinya



Ia sudah cukup lama berjalan. Berusaha melangkah sendirian. Satu persatu ia tanggalkan kesedihannya di masa lalu. Pelan-pelan ia mulai mencari-cari secercah cahaya di ruang hidupnya yang gulita.
 
Ia kembali bangkit.
Meskipun hanya setengah tegap ia berdiri.
Meski sedikit membungkuk.
Ya setidaknya ia sudah enggan untuk kembali tersungkur.

Kemudian hari-harinya berjalan datar. Berjalan seperti hidupnya perempuan pada umumnya. Dan sedikit tersenyum... sesekali ia tengok sedikit ganjil di belakang. Lalu berpaling, dan tersenyum lagi.
Ia bilang “Toh sudah tak ada harapan lagi.”

Ia bahagia. Setidaknya ia sedikit mendapatkan debar jantungnya, sedikit. Ya sangat sedikit. Tapi ia sungguh berdebar ada senyum yang berbeda.

Lalu hari itu datang.
Segala ganjil, segala apa-apa yang sudah rapi di masa lalunya berbalik ke depan matanya.
Demi apapun. Perempuan itu kembali tersenyum sungguhan. Yang selama ini menyita seluruh debar jantungnya, kembali.
Dan perempuan itu mengelak, berusaha membohongi kebahagiaannya yang sederhana “Aku tahu dia main-main. Aku tahu dia tak benar-benar ingin kembali.”

Tapi waktu berjalan. Perempuan itu lagi-lagi berjalan sendirian yang seolah-olah sedang ditemani masa silamnya (yang seolah-olah benar-benar kembali).

Tapi waktu yang ia lalui sedikit hambar.
Ia seperti berada di ujung jurang yang dalam. Hatinya terus bertanya “Haruskah aku melompat pergi. Kembali sakit dan berusaha berjalan tanpamu?” atu “Haruskah aku kembali saja?”
Tapi ia tak pernah berani...

Ia terus menelan ketidakpastian setiap harinya. Debar jantunya yang menyenangkan tak pernah nampak lagi.

Lalu di suatu sore yang gerimis... Ia sadar ia bukan siapa-siapa!

“Dan bahkan jika selama ini aku hanya terlalu berharap, kenapa harus sesakit ini?” katanya dalam hati.

“Lalu, jika aku tak boleh menyebutnya pemberi harapan yang jahat, kenapa aku harus terjatuh lagi? untuk kedua kalinya? Pada orang yang sama? Dan... haruskah aku, melupakanmu sekali lagi?” ia bodoh, pikirnya.

Pada akhirnya. Ia akan cukup lama berjalan lagi. Berusaha melangkah sendirian. Satu persatu ia akan coba tanggalkan kembali kesedihannya di masa lalu. Pelan-pelan ia akan mulai mencari-cari secercah cahaya di ruang hidupnya yang gulita.

Ia bahkan tak akan mungkin turut memberi ucapan perpisahan, atau semacam selamat atas kebahagiaan yang baru, pada segala apa-apanya yang berada di masa lalu.

Yang hanya datang untuk sekedar menjabat tanganmu. Seolah akan menarik tanganmu. Mengajakmu untuk kembali berdiri. Ternyata hanya... akan memperlihatkan padamu bahwa “Ini aku dengan kebahagiaanku yang sekarang. cobalah seperti aku.” ... “Tai  ayam!” umpat perempuan yang kembali terbenam dalam kesedihan yang sama untuk kedua kalinya.



0

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com