assalamualaikum ^^
Cerpenku yang satu ini adalah cerpen tugas matakuliah menyimak ya sebenernya. Dari lagu Risalah Hati Dewa19 jadilah cerpen absurd ini. ya maklum..maksimal cuman dua halaman.
Menunggu Bintang
Oleh : Tesa Rizki Aulia
Tuhan
menciptakan malam dengan bintang. Menciptakan siang dengan matahari. Menciptakan
langit dengan mendung. Tuhan juga menciptakan cinta. Cinta yang katanya indah
dan satu paket dengan rasa sakit. Cinta yang seolah tak ada matinya. Cinta yang
bahkan sanggup mengubah monster menjadi malaikat. Cinta pula yang sanggup
merubah malaikat menjadi monster karena lukanya. Entahlah. Semua yang Tuhan
citakan tak pernah salah. Ada sisi indah dan sisi buruk. Ada sisi terang maka
ada pula sisi gelapnya. Ya, Tuhan memang adil.
Aku tak pernah
mengerti apa itu cinta. Apa itu memiliki. Apakah cinta memang berarti menunggu?
Menunggu dan hanya menunggu sepanjang hari, hingga berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Apakah cinta memang harus melewati proses terabaikan? Cinta
yang sudah harus menunngu sangat lama dan hanya berujung diabaikan. Apakah
cinta harus sesakit ini?
Saat musim yang
tak sedikitpun disapa air hujan mulai datang. Saat aku masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas. Saat musim
ujian kelulusan menjadi topik terhangat untuk semua siswa angkatanku. Dia
datang, Bintang. Dia memang sudah lama di sana. Dia juga tak pernah sembunyi.
Hanya saja, Dia baru terlihat di mata htiku akhir-akhir ini. Dia dengan
senyumnya yang berkali-kali menghantam hayalanku. Aku suka Dia yang baik. Aku
suka Dia yang mengelus rambutku. Aku suka. Dan baginya, Aku hanya teman
sekelasnya. Itu saja.
Aku hanya menyapanya dalam diam. Aku hanya
mengaguminya dalam kebisuan. Perlahan mendekat dan semakin dekat. Cintaku
semakin gila hingga ujung musim. Ujung musim yang terasa kian sakit di sini, di
dalam sini, di hati kecilku. Iya, cintaku menguap di ujung musim yang panas
ini. Pikiranku mulai menyadari... Dia tak hanya baik padaku. Dia tak hanya
mengelus rambutku.
“Aku masih
menunggumu Bintang. Aku masih berdiri di sini” jiwaku tak pernah lelah
menguatkanku. Aku masih akan menunggu. Aku masih akan di sini. Tersenyum dalam
diam. Mengagumi bahkan mencintai dalam kebisuan. Biarlah Dia baik kepada
siapapun. Toh Dia juga baik kepadaku. Biarlah. Biarlah seperti ini.
Hatiku tak
pernah benar-benar terpejam dengan baik di malam-malam tanpa balasan cintanya.
Pikiranku terus saja terjajah bayang-bayang senyum yang tak kunjung tertuju
padaku. Cintaku yang besar hanya debu
untuknya. Cintaku yang elok tak pernah sampai dengan baik di hatinya. Cinta
yang bertepuk sebelah tangan, cinta sepihak. Tak bisakah Dia mencoba mengnalku?
Tak bisakah Dia melihat cintaku? Sedikit saja...
Musim panas
mulai meninggalkan belahan dunia yang ku pijak. Musim yang dingin mulai
terbayang. Musim yang gelap. Musim perpisahan. Haruskan? Haruskah aku
takmelihatnya lagi di meja itu?
Sebelum semua
terlambat. Sebelum aku menyesal. Bisakah aku di beri sedikit waktu bersama?
Hemm.. Jika saja aku diberikan sedikit celah. Jika saja aku diberi sedikit
waktu. Jika saja hari bersamanya masih panjang. Aku bisa. Aku yakin akupasti bisa
membuatnya mengerti cintaku yang besar. Aku pasti bisa melihatnya memberikan
cintanya yang besar seperti besarnya cintaku sekarang. Tapi cintaku sakit.
Cintaku tak pernah indah seperti kata orang. Cintaku yang teramat besar ini tak
pernah nampak di matanya. Iya, cintaku benar-benar sakit.
Hari itu
datang. Hari yang mungkin tak akan pernah kulupa. Perpisahan melaimbaikan aura
sakitnya di depan hati rapuhku.
“Mawar? Dalam
rangka apa?” Bintang tak memandangku sedikitpun. Mawar yang ku berikan dengan
kegugupan luar biasa jatuh di samping
sepatu hitamnya. Dia berjalan menjauh, tenggelam di kerumunan kebahagiaan
wisuda. Dan Aku? Aku masih berdiri di sini, sendirian. Menahan semua sakit
cintaku di sini, sendirian.
“Aku masih
menunggumu Bintang. Aku masih berdiri di sini” jiwaku tak pernah lelah
menguatkanku. Aku masih akan menunggu. Aku masih akan di sini. Tersenyum dalam
diam. Mengagumi bahkan mencintai dalam kebisuan. Biarlah Dia pergi. Biarlah Dia
mengacuhkanku. Biarlah. Biarlah.
Kini senja
kembali panas. Tak ada air hujan. Tak ada rumput yang luas menghijau. Tak ada
angin dingin yang membelai rambutku yang mulai memanjang. Tak ada. Seperti
hidupku tanpa Bintang. Kering dan seolah tanpa nyawa. Aku masih menunggu
Bintang. Masih di sini sendirian. Masih terduduk dalam kebisuan hingga musim
silih berganti tersenyum menghinaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar